Senin, 02 Mei 2016

BEDAH NOVEL "NEGERI 5 MENARA"

Judul: Negeri 5 Menara
Pengarang: A. Fuadi
Bahasa: Indonesia
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Tahun 2009
Jumlah Halaman: XII + 423 halaman
ISBN: 978-979-22-4861-6
Kota Terbit: Jakarta
Hasil gambar untuk bedah novel negeri 5 menara

Novel berjudul Negeri 5 Menara karangan A. Fuadi merupakan Novel pertama dari trilogi negeri 5 menara. Trilogi Negeri 5 Menara terdiri atas 3 novel diantaranya yakni Negeri 5 Menara, Rantau 1 Muara, dan ranah 3 Warna. Negeri 5 Menara merupakan karya fiksi berbentuk novel yang mengisahkan tentang kisah seorang anak laki-laki yang merantau dari Sumatera Barat di daerah Danau Maninjau menuju Ponorogo Jawa Timur. Perantauan ini bermula ketika usulan amak (ibu Alif) yang berkeinginan kuat agar alif meneruskan pendidikannya di pondok Pesantren Madani di Jawa Timur. Keinginan amak ini bertentangan dengan keinginan Alif yang memiliki cita-cita berkuliah di ITB. Jika ingin berkuliah di perguruan tinggi negeri ternama, ia harus menempuh pendidikan menengahhnya di SMA. Menurut Alif, jika ia meneruskan pendidikannya di pondok pesantren, maka cita-citanya menjadi seperti mantan presiden B.J. Habibie akan sirna. Memang demikian jika keinginan amak dan Alif bertentangan. Amak begitu menginginkan anaknya menjadi Ulama seperti bunya HAMKA, sedangkan Alif ingin menjadi ilmuan seperti Habibie. Alif menolak keinginan amak dengan tegas. Namun dengan bujukan ayah, akhirnya Alif pun luluh dan mengikuti kemauan amak dengan setengah hati.

Keberangkatan Alif menuju Pondok Pesantren Madani di Jawa Timur ditemani oleh ayahnya. Sepanjang perjalanan Alif berpikir seperti apa jika ia menjalani sesuatu yang bukanlah keinginannya. Sesampainya di Pondok Madani , Alif terkejut dengan segala peraturan dan kegiatan di Pondok. Semua tertata dengan rapi dan penuh dengan kedisiplinan.Di sana Alif menemui teman-teman yang berasal dari berbagai kalangan dan etnis. Alif semakin mengagumi sistem pendidikan di Pondok tersebut. Namun dalam hati kecilnya, ia belum mampu mengubur keinginannya untuk melanjutkan pendidikannya di SMA dan meneruskannya ke ITB Bandung.

Dalam perjalanan hidup Alif di Pondok Madani, terdapat beberapa orang sahabat yang membersamainya. Mereka adalah Raja Lubis dari Medan Sumatera Barat, Dulmajid dari Sumenep, Madura, Baso Salahudin dari Gowa, Sulawesi, Atang Yunus dari Bandung, Jawa Barat, dan Said Jufri dari Surabaya, Jawa Timur. Dalam keseharian Alif, ditemani oleh sahabat-sahabat yang amat menyayanginya. Suatu ketika mereka duduk-duduk santai di bawah menara besar dekat komplek masjid. Tanpa sadar mereka memandangi awan sejak tadi, dan awan-awan itu membentuk sebuah pola Negara berdasarkan perspektif mereka masing-masing. Berdasarkan perspektif itulah mereka berkeinginan kuat untuk menuju tempat itu. Atang berkeinginan untuk pergi ke Mesir, Raja ingin ke London, Alif ingin ke Amerika dan Said, Dulmajid, serta Baso ingin tetap di Indonesia. Mereka sering sekali duduk-duduk di bawah menara besar masjid Madani, karena begitu seringnya mereka melakukan aktivitas di bawah menara maka mereka dijuluki dengan sebutan sohibul Menara, yang berarti “yang punya menara.

Pada suatu ketika menginjak tahun kedua kebersamaan 5 sahabat menara, tiba-tiba Baso Salahudin memutuskan untuk pergi dan pulang ke kampong halamannya di Gowa. Alasan kepulangannya ialah karena pertimbangan ekonomi dan neneknya yang tinggal sendiri di Gowa. Ia harus mengurus neneknya yang sedang sakit. Alasan mengapa selama setahun ini tak ada seorangpun yang menengok Baso di Pondok Madani ialah karena Baso sudaj tidak memiliki orang tua kandung. Ia hanya hidup sebatang kara bersama neneknya. Atang, alif, Said, dan Dulmajid kaget mendengar hal ini. Mereka sama sekali tidak tahu kalau Baso tidak memiliki orang tua. Alasan mengapa Baso terobsesi dengan hafalan 30 Juz nya tidak lain adalah karena ia menginginkan jubah kemuliaan disematkan oleh Allah kepada orang tuanya yang sudah tiada. Sohibul menara berpelukan menahan haru yang luar biasa dan tak kuasa menahan tangis karena perpisahan yang begitu mengejutkan.

Kelebihan yang terdapat dalam novel ini terletak pada gaya bahasa pengarang yang lugas dan menarik. Mengingat latar belakang pengarang yang seorang jurnalis, maka tidak mengherankan jika penggambaran cerita dilakukan dengan cara yang sangat baik. Penulis menggambarkan tentang aspek kultural di pondok pesantren yang kental dengan nilai-nilai religious dan menepis anggapan bahwa santri hanya bisa mengaji dan ceramah. Banyak hal yang bisa didapatkan dari belajar di pondok pesantren. Kisah dalam novel ini terinspirasi dari pengalaman pribadi penulis yang dituangkan pada tokoh Alif fikri yang semula begitu terpaksa belajar di pondok pesantren namun pada akhirnya ia merasakan banyak manfaat yang didapatkannya.

Kekurangan pada novel ini terletak pada konflik cerita yang hanya ditonjolkan pada pertentangan batin Alif Fikri. Konfliknya hanya terletak pada rasa terpaksanya alif yang mengikuti kemauan amaknya untuk melanjutkan pendidikan di pondok pesantren. Sedangkan ia berkeinginan melanjutkan ke SMA. Dinamika pada novel ini terasa sangat datar , pembaca seperti melihat catatan harian yang dikemas menjadi karya fiksi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar